Oleh: Wisno Pakaya (Penyuluh KEMENAG Pohuwato)
Pertama, hendaklah orang tersebut berpuasa jika telah melihat hilal Ramadhan dan mesti berbuka jika melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisihi pendapat Pemerintah dan mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan juga pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah swt:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah:185)
Kedua, hendaklah orang yang melihat hilal tersebut berpuasa berdasarkan hilal yang dia lihat. Namun dia mesti berhari raya bersama Pemerintah dan masyarakat yang ada di negerinya. Hal ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Ketiga, hendaklah orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah dia sendiri, dan dia harus berpuasa dan berhari raya bersama Pemerintah dan mayoritas masyarakat yang ada di negerinya. Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi saw,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fitri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fitri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”
Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu pendapatnya berkata:
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan:
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.